Kamis, 04 Juli 2013
Agar pikiran kita selalu positif
Bagaimana agar kita selalu positif thinking? apakah kita harus selalu memantau pikiran kita seharian? apakah tidak capek?
oh, iya..memang capek jika harus memprovokasi pikiran untuk selalu berpikir positif secara sadar. Akan tetapi Tuhan menciptakan perangkat lagi suatu sistem yg sangat ajaib, yaitu emosi.
Emosi dapat bekerja 2 arah
Pertama, emosi memberi sinyal pada kita apa yg sedang kita pikirkan. Emosi negatif, berarti kita sedang berpikiran negatif. Emosi positif, berarti kita sedang memikirkan hal yang baik.
Dalam hal ini pikiran-mempengaruhi-emosi.
Dilain sisi, emosi yg kita rasa akan berpengaruh pada pikiran kita. Jika kita mencoba mengingat, maka disaat kita memiliki emosi positif akan mudah bagi kita memaafkan, memaklumi dan berbuat baik.
Dalam hal ini emosi-mempengaruhi-pikiran.
Kembali lagi ke pertanyaan. Apakah secara sadar kita harus mengontrol pikiran agar selalu positif? Mungkin jawabannya adalah "tidak selalu".
Cara yg lebih mudah adalah, buatlah diri kita bahagia dan memiliki emosi positif dengan cara apapun. Dan segera, kita akan memiliki pikiran yg positif juga.
Danang Setyo Budi Baskoro
Label:Tips Psikologi | 0
komentar
Selasa, 23 April 2013
Tips Dahsyat Menghentikan Kebiasaan Merokok
Anda suka merokok? Apakah merokok itu kebutuhan?
Apakah rokok itu nikmat rasanya? Apakah menghentikan kebiasaan merokok
itu susah bagi Anda?
Memang kebanyakan
orang di Indonesia telah mencandui nikotin yang ada dalam kandungan
rokok ini. Pada awalnya coba-coba lalu menjadi kebiasaan dan pada
akhirnya menjadi kecanduan. Meski begitu sebagian besar pecandu rokok
sebenarnya sudah paham akan bahaya rokok yang mengandung zat-zat
berbahaya (ex : Nikotin, Pb, CO, Tar dll). Mereka mampu menjelaskan
mengenai apa yang akan terjadi jika rokok tersebut terus dikonsumsi.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan, kenapa mereka terus melakukannya
walau kadang ada keinginan untuk menghentikan kebiasaan tersebut?
Okey, saya tidak akan
banyak membahas mengenai kandungan yang ada didalam rokok atau apa yang
bisa terjadi pada tubuh Anda jika Anda tetap merokok, karena saya yakin
informasi seperti itu sebagian besar sudah Anda ketahui. Pada kesempatan
kali ini saya ingin membicarakan bagaimana cara yang tepat untuk
menghentikannya.
Cara yang akan saya
tawarkan kepada Anda disebut NAC (Neuro Associative Conditioning), yaitu
suatu teknik yang berfokus pada pengkondisian pola sel jaringan didalam
otak.
Alasan yang kuat
Jika Anda seorang yang
berkuasa mungkin Anda bisa memaksa orang disekitar Anda untuk menuruti
apa yang Anda mau. Anda bisa saja menyuruhnya mengambil minuman atau
makanan sesuka hati dengan kepatuhan orang tersebut karena kekuasaan
Anda. Akan tetapi apakah kita tahu apa yang sebenarnya dirasakan orang
tersebut? Yah, tidak ada seorangpun yang tahu, apakah dia memang penurut
atau didalam hatinya tersimpan umpatan-umpatan yang siap keluar dari
mulutnya. Hal ini sama saja dengan Anda yang memiliki suatu kebiasaan
buruk lalu ingin berhenti. Apakah yang membuat Anda berhenti melakukan
kebiasaan buruk itu adalah orang lain ataukah dari dalam lubuk hati Anda
secara pribadi.
Seorang pria pecandu
rokok tidak kunjung berhasil menghentikan kebiasaan merokoknya selama
bertahun-tahun hingga pada suatu ketika ia ditegur oleh putri kecilnya
yang usianya baru 7 tahun. Tiba-tiba sang anak perempuan yang mungil itu
masuk kekamar ayahnya dan dengan nada yang ketus mengatakan “
heiy, ayah berhentilah merokok. Aku ingin ayah tetap sehat dan berumur
panjang, karena aku ingin ayah hadir dipernikahanku nanti”. Semenjak saat itu sang ayah tidak lagi melakukan kebiasaan merokok.
Jika kesehatan Anda
tidak Anda anggap penting secara pribadi, atau alasan tersebut tidak
cukup kuat mendorong tindakan Anda maka Anda bisa membayangkan bahwa
kesehatan itu Anda persembahkan untuk seseorang yang istimewa dalam
hidup Anda. Anda bisa mempersembahkan usaha Anda untuk anak
perempuan/laki-laki Anda, istri/suami Anda, atau untuk orang-orang yang
Anda kasihi.
Dengan alasan yang
kuat maka Anda tidak akan gamang lagi dalam melangkah untul mencoba
membuat perubahan dengan motivasi yang jelas.
Rusak polanya
Disadari atau tidak
sebenarnya kita hidup dalam ke-otomatis-an. Kita tidur, lalu bangun,
sarapan, berangkat kerja dengan jalur yang sama, makan, hingga kita
kembali tidur. Semuanya membentuk suatu rantai yang berkesinambungan
yang disebut dengan kebiasaan (habit). Habit atau kebiasaan ini
merupakan pola yang terbentuk karena ada proses pengkondisian yang
terus-menerus, yang lalu menetap karena ada perasaan “nikmat” didalam
perputaran pola tersebut. Otak kita yang pada dasarnya suka mengejar
kenimatan akan terjebak oleh pola ini, karena kita merasa bahwa merokok
dapat membuat tubuh rileks/ nikmat. Selama kita terjebak oleh perasaan
nikmatnya merokok maka kita akan sulit melepaskan dari kebiasaan
tersebut.
Caranya merusak pola
yang tepat adalah pertama, pasangkan kebiasaan merokok Anda dengan
sesuatu yang tidak mengenakkan, misalkan saat anda merokok (menikmati)
anda membaca mengenai dampak dari rokok untuk kesehatan. Hal ini berarti
Anda membuat asosiasi bahwa kenikmatan rokok itu tidak menyenangkan.
Kedua, rusak pola waktu merokok. Misalnya jika saat setelah makan yang
biasanya adalah waktu yang nikmat untuk merokok, nah..Anda alihkan
kekegiatan lain..atau boleh pura-pura lupa kalau waktu itu seharusnya
waktunya merokok. Ketiga, Anda harus secara tegas mengurangi jumlah
batang rokok yang biasa Anda hisap.
Cari kenikmatan pengganti
Jika Anda sedang
marah, Anda bisa menahan marah itu dengan paksa akan tetapi kemungkinan
besar perasaan marah tersebut akan termanifestasi menjadi bentuk
perilaku lain, seperti menyalahkan orang lain, memecah barang atau
bahkan menjadi gangguan psikologis ex: psikosomatis. Hal ini tidak jauh
berbeda dengan kebiasaan buruk yang biasa kita lakukan dan masih dalam
tahap yang akut, sehingga kita tidak bisa menghentikannya begitu saja,
akan tetapi kita bisa melakukan hal yang lebih aman dengan cara
mengganti kenikmatan yang lain yang bisa menguntungkan kita secara fisik
khususnya. Anda bisa mencari makanan (yang sehat), buah atau apapun
yang Anda sukai. Lalu saat dorongan kebiasaan itu muncul, segera ganti
dengan kenikmatan pengganti yang sudah anda siapkan.
Beri hadiah
Hadiah sangat penting
bukan hanya untuk meunculkan perilaku baru, akan tetapi juga untuk
memeliharanya. Jika kebiasaan merokok sudah mulai dapat anda kurangi,
maka berilah hadiah kepada diri anda sendiri. Hadiah bisa Anda sesuaikan
dengan apa yang Anda anggap berharga, seperti jam tangan baru, makanan
favorit, tempat wisata dsb.
Bangun kebiasaan tandingan
Selain mengurangi
kebiasaan merokok Anda bisa membangun kebiasaan baru yang berhubungan
dengan tujuan Anda untuk menghentikan kebiasaan merokok. Jika Anda ingin
hidup sehat dan panjang umur, maka bangunlah kabiasaan berolahraga. Dan
beri hadiah saat target-target Anda mulai nampak tercapai.
Hindari mencoba-coba
Para pelatih sirkus
tahu jika anjing laut selalu diberikan ikan saat ia meloncati lingkaran
yang dipegang oleh pelatih, maka sang anjing laut hanya mau meloncat
jika diberi ikan. Oleh karena itu para pelatih mengacak jadwal memberi
ikan pada tiap lompatan, agar perilaku anjing laut tersebut dapat
melompat. Pada saat terjadi pengacakan jadwal pemberian hadiah, maka
otak akan semakin terbawa dengan drama “penasaran” yang dimainkan oleh
lingkungan yang memberikan hadiah tersebut. Prinsip ini juga yang telah
membuat penjudi rela menghabiskan harta bendanya untuk sesuatu yang
sangat tidak pasti.
Maka dari itu jika
Anda sudah mulai bisa menghentikan merokok dan membangun kebiasaan yang
baru, pantangan terbesar adalah “mencoba-coba” mengambil batang rokok
yang ditawarkan teman Anda. Karena ini membuat otak akan merespon
peristiwa ini sebagai “drama” kenikmatan yang membuat keinginan merokok
menjadi permanen.
Selamat mencoba dan salam sehat jiwa dan raga..
Danang Setyo Budi Baskoro
Label:Tips Psikologi | 0
komentar
Senin, 22 April 2013
Mengatasi Perasaan Tidak Mampu dengan “Thinking Like A Tiger”
Pernahkah anda merasa saat hendak melakukan sesuatu dan semuanya sudah
siap untuk dilaksanakan, tiba-tiba terbersit pemikiran “ah..mana bisa
aku lakukan..”, “ ah…itu terlalu berat..”, “ hanya orang lain yang bisa
melakukannya..” dan sebagainya. Saat kita mulai menuruti apa yang
dibisikkan pikiran kita, maka keraguan mulai nampak, dan jika kita terus
tertarik mendengarkan bisikan itu maka kita akan benar-benar ragu
bahkan tidak melakukannya sama sekali.
Banyak sekali diantara kita yang secara sadar
ataupun tidak mendengarkan bisikan-bisikan itu, sehingga apa yang kita
lakukan menjadi terganjal, bukan oleh orang lain akan tetapi oleh diri
kita sendiri.
Dalam kasus yang lebih ekstrim, mendengarkan
bisikan ketidak mampuan atau kegagalan secara berulang-ulang dapat
menyebabkan masalah emosional (emotional disturbance) yang parah hingga
kematian akibat bunuh diri.
Ketidakberdayaan yang dipelajari
Para behavioris
melakukan suatu eksperimen dengan mengkondisikan seekor anjing agar
mengalami suatu ketidakberdayaan ketika diberikan stimulus yang
menyakitkan (aliran listrik). Pada situasi awal anjing dalam kondisi
bebas, dan diberi kejut listrik yang menyakitkan ke tubuhnya sehingga ia
berlari menghindari alat yang beralirkan listrik tersebut. Pada
percobaan berikutnya masih dengan anjing yang sama, sang anjing
diposisikan sedemikian rupa hingga ia tidak dapat bergerak ketika
listrik dialirkan ke tubuhnya, dan hal tersebut diulang hingga beberapa
kali. Ternyata setelah anjing dikembalikan pada kondisi semula dan dapat
bergerak bebas, ketika peneliti memberinya aliran listrik, sang anjing
mendenguh kesakitan namun tidak menghindar dari alat yang menyetrumnya.
Berdasarkan penelitian
inilah para behavioris membuat kesimpulan bahwa organisme mempelajari
segala sesuatu termasuk rasa tidak berdaya dalam menghadapi rasa sakit,
tidak terkecuali manusia. Ketika manusia dihadapkan pada suatu kejadian
yang menyakitkan (traumatis) akan tetapi disaat kejadian itu berlangsung
ia tidak mampu berbuat apapun, maka sebenarnya ia mulai belajar
mengenai “ketidakberdayaan” terhadap rasa sakit atau bencana. Sehingga
hal tersebut akan berpotensi membuatnya “lumpuh” ketika menghadapi
kesulitan yang serupa bahkan kesulitan yang sebenarnya lebih ringan yang
dihadapinya dimasa depan.
Dengan
ketidakberdayaan yang didapatnya tersebut, maka akan terjadi sederetan
panjang pemikiran negatif, pemikiran mengalahkan diri, berburuk sangka,
over generalization dan segala yang berkaitan dengan “ketidakberdayaan”.
Fenomena percintaan “lebih baik aku yang memutus dia, dari pada aku yang diputus”
Anda mungkin pernah
mengamati drama percintaan yang dilakukan oleh orang-orang disekitar
kita. Dalam hal ini saya melakukan riset kecil-kecilan dengan mengamati
orang-orang yang baru putus cinta. Secara umum pengamatan saya
menunjukkan hasil bahwa orang yang lebih cepat bangkit dari rasa depresi
karena putus hubungan dengan kekasihnya adalah orang yang mengambil
keputusan untuk mengakhiri hubungannya tersebut. Lalu yang sangat sulit
bangkit dari keterpurukan adalah orang yang tidak terima saat diputus,
merasa dianiyaya, merasa ditipu, tidak diperlakukan dengan adil ataupun
hal-hal lain yang berhubungan dengan perasaan diri sebagai korban
(ketidakberdayaan). Sehingga mungkin saja keterpurukan yang dialami oleh
seseorang yang patah hati adalah karena merasa dirinya sebagai orang
yang kalah dalam duel pertengkaran tersebut. Ataupun orang yang cepat
bangkit karena ia telah memenangkan pertempuran dimedan laga. Namun
begitu, tidak semua orang yang merasa dianiyaya (dalam kasus ini) selalu
lama mengalami keterpurukan, saat ia mulai sadar bahwa ia tidak boleh
merasa kalah dan harus segera bangkit dari rasa duka yang dialaminya.
Kata-kata adalah pengantar menuju kedalam emosi tertentu
Tidak naïf jika kita tahu alasan mengapa ada yang
disebut “kata-kata mutiara”, “kata-kata bijak”, “petuah” atau kata-kata
yang membawa kita kepada penguatan pikiran dan hati.
Sebenarnya bukanlah mitos jika sebuah kata-kata
akan berdampak pada emosi anda bahkan perilaku anda. Ingat-ingat ketika
anda membaca sebuah buku cerita misteri atau percintaan. Atau karangan
terkenal J.K Rowling yaitu Harry Potter, yang membuat anda berada dalam
dunia si pengarang. Hanya dengan membaca buku Harry Potter, anda
seolah-olah dapat melihat pemandangan yang ada dalam buku tersebut,
warna dan bentuk benda-benda bahkan seolah-olah anda mengetahui aroma
dan nuansa yang dituangkan dalam cerita tersebut. Sebenarnya itu
bukanlah sesuatu yang palsu anda alami, sebenarnya anda benar-benar
mengalaminya.
Manusia telah lama mengasosiasikan kata-kata dengan
sesuatu didalam otak yang kita namakan penglihatan, penciuman,
pendengaran dan kinestetik. Prinsip kerjanya sama dengan aroma parfum
seseorang yang tidak kita kenal dengan aroma parfum yang beraroma sama
orang yang biasa kita temui. Prinsip ini pula yang dipakai oleh para
hipnoterapis dalam melakukan proses induksi terhadap kliennya. Dengan
memberi suatu kata-kata yang jelas dengan perintah atau deskripsi
tertentu, maka sang klien dapat merasakan sensasi indrawi karena
stimulus yang diberikan oleh hipnoterapis (sugesti).
Thinking Like A Tiger
Setelah mengetahui makna dari suatu kata-kata atau
pernyataan dalam diri, maka sebenarnya kita lebih mempunyai kesadaran
akan kendali diri terhadap emosi yang kita rasakan.
Bayangkan jika anda adalah seekor harimau yang
tidak pernah menjadi korban. Harimau tidak pernah menjadi rantai
terbawah dalam ekosistem. Meskipun terkadang harimau menjadi objek
sasaran dari perburuan manusia, ia tetaplah sang raja hutan yang tidak
pernah menjadi mangsa hewan lain.
Jika kita sadar bahwa ketidakmampuan kita adalah
karena pembelajaran disituasi yang salah dengan pemaknaan yang salah
dikala itu, kita sebenarnya telah memasuki suatu tahap pengendalian diri
dengan berpikir menjadi pelaku, bukan korban. Sadari kata-kata yang
anda ucapkan kepada diri anda sendiri dan mulailah menjadi “Sang Raja
Hutan Rimba Pikiran dan Kehidupan Anda”
Danang Setyo Budi Baskoro
Danang Setyo Budi Baskoro
Label:Tips Psikologi | 0
komentar
Memaafkan atau hanya melupakan?
Alangkah indahnya jika kita bisa memaafkan semudah kita mengatakan kata “saya maafkan Anda”.
Kata maaf mungkin dapat kita ucapkan dengan tidak terlalu sulit untuk seseorang yang telah menyakiti kita, menghianati atau bahkan mencabik-cabik kepercayaan kita terhadapnya.
Kata maaf bisa saja kita ucapkan atas dasar desakan dari pihak lain, seperti ketika kita dipaksa untuk memaafkan, atau bahkan dipaksa untuk meminta maaf atas kesalahan yang sebenarnya kita merasa itu merupakan kesalahan orang lain.
Kita bisa saja mengucapkan kata maaf, tapi apakah hati kita benar-benar memaafkan?! Atau perasaan kita bisa tiba-tiba baik?!
Saya teringat kata-kata yang pernah saya dengar dari seseorang yaitu :
“Lupakan yang tak bisa kamu maafkan, dan maafkan yang tidak bisa kamu lupakan.”
Saya sempat terpaku oleh rangkaian kalimat itu, dan mencoba memahami artinya. Lalu intepretasi saya mulai menyentuh pengertian yang kira-kira ada dua sintesa seperti ini :
1. Ketika kita tidak bisa memaafkan kesalahan yang pernah dilakukan seseorang terhadap kita dimasa lalu, maka ada baiknya kita lupakan saja semuanya agar tidak terkenang rasa sakitnya yang kadang akan hinggap lagi ketika kita mengingat kejadian yang telah terjadi.
2. Jika kita tidak bisa melupakan sesuatu yang menyakitkan tersebut maka kita harus memaafkannya, karena hal ini mungkin saja menurut penulis dapat meredakan rasa sakit yang kembali hinggap ketika kejadian yang menyesakkan dada itu terkenang kembali.
Jadi saya semakin mengerti bila memahami satu persatu kalimat, dan lalu semakin bingung jika memahami rangkaian dua kalimat itu ketika digabung. Mana yang harus berdiri awal kalimat, melupakan dulu atau memaafkan dulu?!
Dan saya kembali teringat tentang salah satu kata bijak bahwa :
“Memaafkan itu bukanlah sifat tapi adalah suatu hasil dari suatu proses”.
Ketika seseorang memaafkan suatu kejadian menyakitkan yang pernah dialaminya, hal tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba dan begitu saja, akan tetapi melalui proses yang bisa jadi memerlukan suatu pemahaman tertentu.
Proses memaafkan diantaranya adalah, mengerti akibat dari apa yang dilakukannya, mengerti bahwa sikap marahnya tidak ada gunanya dan hanya akan mengurangi kedamaian hatinya saja. Atau ketika kita mengerti bahwa orang yang pernah berbuat salah kepada kita sebenarnya telah tumbuh menjadi pribadi baru yang lebih baik dari masa lalunya, sehingga ketika kita marah dan masih enggan memaafkannya sebenarnya kita melakukan sikap yang salah yang telah kadaluarsa.
Kembali kepermasalahan dua kalimat diatas tadi, pertama yaitu “lupakan yang tidak bisa kamu maafkan”, menurut saya melupakan yang tidak bisa dimaafkan hanya akan menimbulkan suatu penyakit saja, karena itu sama saja memendam bara api dalam sekam, menekan kejengkelan, kesedihan, kesuraman dibawah kesadaran dan menggantinya dengan perasaan yang lebih baik. Banyak contoh penyakit atau gangguan yang terjadi akibat dari pendaman-pendaman perasaan negatif ini, sebut saja depresi atau kemurungan yang berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, ketidakstabilan suasana hati/manic-depressive, dan bahkan penyakit fisik yang hal tersebut berasal dari gangguan psikologis.
Kedua, adalah “ Maafkan yang tidak bisa kamu lupakan”, saya cukup setuju dengan pernyataan ini karena memang dalam keadaan normal kita tidak akan bisa melupakan suatu kejadian yang pernah kita alami dengan total seratus persen. Akan saja ada sisa-sisa kenangan/ memory yang muncul diam-diam atau terkadang membanjiri ingatan kita. Dan bahwa kejadian yang telah kita alami dahulu masih akan tetap tersimpan didalam otak kecil, yang letaknya ada dibelakang bagian kepala kita.
Mungkin saat ini memang ada saja yang belum kita maafkan dari suatu kejadian yang melibatkan seseorang dalam hidup kita, tapi saya rasa itu adalah sebuah perjalanan proses menuju pengertian yang lebih baik, kerana memaafkan bukan berarti “melupakan” atau mengucapkan “iya, saya maafkan” akan tetapi lebih kepada pengertian adanya akibat, resiko dan dampak dari sikap tidak memaafkan kita termasuk juga takut membuat Tuhan marah.
Jadi...memaafkan itu logis sekali...
Dan memang memaafkan itu adalah suatu perjalanan pribadi menuju kematangan, melalui pengertian yang baik.
Jika kita tidak bisa melakukannya sekarang, kita bisa mencobanya terus..
Danang Setyo Budi Baskoro
Kata maaf mungkin dapat kita ucapkan dengan tidak terlalu sulit untuk seseorang yang telah menyakiti kita, menghianati atau bahkan mencabik-cabik kepercayaan kita terhadapnya.
Kata maaf bisa saja kita ucapkan atas dasar desakan dari pihak lain, seperti ketika kita dipaksa untuk memaafkan, atau bahkan dipaksa untuk meminta maaf atas kesalahan yang sebenarnya kita merasa itu merupakan kesalahan orang lain.
Kita bisa saja mengucapkan kata maaf, tapi apakah hati kita benar-benar memaafkan?! Atau perasaan kita bisa tiba-tiba baik?!
Saya teringat kata-kata yang pernah saya dengar dari seseorang yaitu :
“Lupakan yang tak bisa kamu maafkan, dan maafkan yang tidak bisa kamu lupakan.”
Saya sempat terpaku oleh rangkaian kalimat itu, dan mencoba memahami artinya. Lalu intepretasi saya mulai menyentuh pengertian yang kira-kira ada dua sintesa seperti ini :
1. Ketika kita tidak bisa memaafkan kesalahan yang pernah dilakukan seseorang terhadap kita dimasa lalu, maka ada baiknya kita lupakan saja semuanya agar tidak terkenang rasa sakitnya yang kadang akan hinggap lagi ketika kita mengingat kejadian yang telah terjadi.
2. Jika kita tidak bisa melupakan sesuatu yang menyakitkan tersebut maka kita harus memaafkannya, karena hal ini mungkin saja menurut penulis dapat meredakan rasa sakit yang kembali hinggap ketika kejadian yang menyesakkan dada itu terkenang kembali.
Jadi saya semakin mengerti bila memahami satu persatu kalimat, dan lalu semakin bingung jika memahami rangkaian dua kalimat itu ketika digabung. Mana yang harus berdiri awal kalimat, melupakan dulu atau memaafkan dulu?!
Dan saya kembali teringat tentang salah satu kata bijak bahwa :
“Memaafkan itu bukanlah sifat tapi adalah suatu hasil dari suatu proses”.
Ketika seseorang memaafkan suatu kejadian menyakitkan yang pernah dialaminya, hal tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba dan begitu saja, akan tetapi melalui proses yang bisa jadi memerlukan suatu pemahaman tertentu.
Proses memaafkan diantaranya adalah, mengerti akibat dari apa yang dilakukannya, mengerti bahwa sikap marahnya tidak ada gunanya dan hanya akan mengurangi kedamaian hatinya saja. Atau ketika kita mengerti bahwa orang yang pernah berbuat salah kepada kita sebenarnya telah tumbuh menjadi pribadi baru yang lebih baik dari masa lalunya, sehingga ketika kita marah dan masih enggan memaafkannya sebenarnya kita melakukan sikap yang salah yang telah kadaluarsa.
Kembali kepermasalahan dua kalimat diatas tadi, pertama yaitu “lupakan yang tidak bisa kamu maafkan”, menurut saya melupakan yang tidak bisa dimaafkan hanya akan menimbulkan suatu penyakit saja, karena itu sama saja memendam bara api dalam sekam, menekan kejengkelan, kesedihan, kesuraman dibawah kesadaran dan menggantinya dengan perasaan yang lebih baik. Banyak contoh penyakit atau gangguan yang terjadi akibat dari pendaman-pendaman perasaan negatif ini, sebut saja depresi atau kemurungan yang berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, ketidakstabilan suasana hati/manic-depressive, dan bahkan penyakit fisik yang hal tersebut berasal dari gangguan psikologis.
Kedua, adalah “ Maafkan yang tidak bisa kamu lupakan”, saya cukup setuju dengan pernyataan ini karena memang dalam keadaan normal kita tidak akan bisa melupakan suatu kejadian yang pernah kita alami dengan total seratus persen. Akan saja ada sisa-sisa kenangan/ memory yang muncul diam-diam atau terkadang membanjiri ingatan kita. Dan bahwa kejadian yang telah kita alami dahulu masih akan tetap tersimpan didalam otak kecil, yang letaknya ada dibelakang bagian kepala kita.
Mungkin saat ini memang ada saja yang belum kita maafkan dari suatu kejadian yang melibatkan seseorang dalam hidup kita, tapi saya rasa itu adalah sebuah perjalanan proses menuju pengertian yang lebih baik, kerana memaafkan bukan berarti “melupakan” atau mengucapkan “iya, saya maafkan” akan tetapi lebih kepada pengertian adanya akibat, resiko dan dampak dari sikap tidak memaafkan kita termasuk juga takut membuat Tuhan marah.
Jadi...memaafkan itu logis sekali...
Dan memang memaafkan itu adalah suatu perjalanan pribadi menuju kematangan, melalui pengertian yang baik.
Jika kita tidak bisa melakukannya sekarang, kita bisa mencobanya terus..
Danang Setyo Budi Baskoro
Label:Tips Psikologi | 0
komentar
Mens sana in corporisano. Benarkah adanya?
Sering kita mendengar istilah latin yang cukup terkenal “mens sana in
corporisano”, yang artinya "healthy mind in healthy body"/ “didalam
tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat”. Istilah ini sering kita dengar di
acara motivasi, acara kesehatan ataupun saat para guru yang menasehati
murid-muridnya agar lebih rajin olahraga dan menjaga kesehatannya. Akan tetapi
sering timbul pertanyaan, apakah benar istilah itu? Apakah ada korelasi antara
fisik dan kejiwaan? Ataukah istilah itu hanya slogan yang dibuat untuk
memotivasi orang-orang agar berperilaku lebih sehat?
Saya telah membaca beberapa tulisan di blog pribadi ataupun opini lepas yang
menyatakan bahwa kesehatan fisik itu tidak ada hubungan sama sekali dengan
kesehatan jiwa.Bahwa para atlit yang mempunyai fisik kuat dan prima saja masih
sering berkelahi dan tempramen yang buruk. Bahwa para pebisnis yang mempunyai
waktu yang tidak memungkinkan untuk berolahraga dan lebih memperbanyak meditasi
mempunyai jiwa lebih sehat dan tenang dalam mengambil keputusan bisnisnya. Atau
juga para pemuka agama dan spiritualis, meskipun dapat dikatakan jarang
berolahraga akan tetapi jiwa mereka bersih dan kuat.
Logika yang demikian ini memang benar adanya, bahwa tidak serta merta
seseorang yang mempunyai badan sehat selalu mempunyai jiwa yang kuat. Namun
demikian nampaknya kita perlu menelaah mengenai arti ”mens sana in
corporisano” secara lebih dalam.
Saya memiliki beberapa opini yang menunjukkan bahwa memang ada hubungan
antara kesehatan fisik dan kesehatan jiwa. Namun demikian yang maksud hubungan
tidak selalu bermakna “sebab-akibat”, meskipun pada beberapa dan banyak kasus
menunjukkan bahwa ada hubungan “sebab-akibat” yang kuat antara kesehatan fisik
dan kesehatan jiwa.
Kesehatan fisik dapat mempengaruhi kesehatan jiwa
Mudah saja kita mengambil contoh, bahwa kesehatan fisik dapat mempengaruhi
kesehatan jiwa. Jika kita pernah merasakan sakit gigi apa yang terjadi dengan
perilaku kita? Apakah ada yang berubah? Ya benar..! perilaku kita akan sedikit
berubah ketika tubuh kita mengalami sakit atau nyeri. Mungkin ada yang
berperilaku diam saja dikamar, mungkin ada yang berperilaku tidak banyak bicara
atau bahkan ada yang berperilaku marah-marah dan mengeluh.
Contoh sederhana ini dapat kita ambil untuk menggambarkan bahwa kesehatan
fisik itu ternyata mampu mempengaruhi kondisi psikologis kita. Suasana hati
kita dapat terganggu, lalu selanjutnya akan berpengaruh kepada perilaku kita.
Contoh lain yang lebih kompleks adalah pada penderita kerusakan mental
organik (epilepsi), trauma otak (gegar otak), dan orang yang pecandu narkoba.
Pada contoh kasus tersebut memang pada awalnya mereka mempunyai jiwa yang
sehat, akan tetapi setelah itu terjadi kerusakan terhadap otak mereka sehingga
merubah pula kesadaran, pola pikir dan perilaku mereka. Dalam hal ini dapat
memperkuat asumsi bahwa kesehatan fisik dapat mempengaruhi kesehatan jiwa.
Kesehatan jiwa dapat mempengaruhi kesehatan fisik
Untuk memberi contoh kasus pendapat ini saya menjadi teringat pada masa
sekolah SMA dulu. Pada waktu itu ayah saya yang selalu mengambil raport per
semester di sekolah saya yang merupakan sekolah favorit di kota. Karena saya
adalah orang desa dan sangat sulit untuk masuk ke sekolah itu, maka sayapun punya
banyak harapan kepada nilai raport saya, agar bisa membuat bangga ayah saya.
Akan tetapi, setelah ayah keluar dari balik pintu kelas dan menunjukkan nilai
rapport saya yang “me-merah” saya langsung lemas dan shock sekali. Lambung saya
seakan diremas-remas, nafas saya pendek-pendek, dan muka saya memerah. Meskipun
ayah saya hanya tersenyum dan mengatakan “tidak apa-apa nak”, akan tetapi
selama beberapa hari pikiran itu berkecamuk didalam kepala saya. Saya merasa
mual selama tiga hari dan lambung saya perih tak karuan. Setelah saya
diperiksakan ke dokter, ternyata saya mengalami magh akut.
Contoh lain yang lebih ekstrim cukup banyak yang dapat kita ambil. Seperti
pada beberapa gangguan yang telah didaftar kedalam DSM-IV (Diagnostic and
statistical of mental disorder) yang memuat beberapa gangguan fisik dengan
penyebab dari gangguan psikologis, yaitu gangguan nyeri, gangguan konversi,
hipokondria dsb.
Didalam tubuh yang sehat ada jiwa yang kuat
Dari paparan diatas dapat kita simpulkan bahwa memang kesehatan fisik dan
jiwa saling mempengaruhi satu sama lainnya. Fisik yang kurang sehat dapat
mempengaruhi kondisi emosional dan perilaku (kejiwaan) sehingga menjadi menurun
atau tidak adaptif. Sebaliknya, kondisi emosional yang menurun atau tertekan
dapat mempengaruhi kondisi fisik baik secara akut (dalam bentuk psikosomatis),
dalam bentuk kronis (pada beberapa jenis gangguan somatoform) ataupun mewujud
dalam bentuk memperparah kondisi fisik atau organ yang lemah (jantung, darah
tinggi dll).
Juga disebutkan pada beberapa jurnal psikologi dan kesehatan, bahwa emosi
negative ( seperti marah, benci, sedih, dan kecewa) dapat mempengaruhi imunitas
tubuh yang selanjutnya dapat mempermudah penyakit menjangkit kedalam tubuh. Dan
juga sebaliknya bahwa emosi positif (optimis, suka cita, bahagia, humor) dapat
meningkatkan imunitas tubuh secara signifikan.
Oleh karena itu jika ada pertanyaan ada pertanyaan apakah “didalam tubuh
yang sehat terdapat jiwa yang kuat”, dapat kita jawab dengan jawaban “benar”.
Karena orang yang memiliki jiwa yang kuat dapat menciptakan tubuh yang sehat,
dan orang yang mempunyai tubuh yang sehat dapat memelihara jiwanya yang kuat.
Selamat menjaga kesehatan dan memperkuat jiwa..!!
Danang Setyo Budi Baskoro
Danang Setyo Budi Baskoro
Label:Tips Psikologi | 0
komentar
Sifat Pencemas Bukanlah Suratan Takdir
“Dini (23) menutup pintu kamarnya dengan keras,
lalu menguncinya dari dalam. Wajahnya musam, matanya memerah dan lalu
berbaring dikamarnya. Seharian ia hanya berbaring dikamarnya dengan
sesekali memutar mp3 lagu-lagu melankolis. Masih terbayang dalam
benaknya salah satu wajah teman kosnya yang beberapa saat sebelumnya
memalingkan muka lalu meninggalkannya sendiri di dapur. Sesaat setelah
temannya meninggalkannya menuju lantai atas untuk pesta berbeque
dengan lima orang teman yang lainnya, Dini memikirkan bahwa
teman-temannya akan membicarakan keburukannya karena menolak ajakan
untuk ikut bergabung pesta barbeque bersama. Dini marah, masuk
kekamarnya dan mengurung diri hingga seharian. Pikirannya berkecamuk,
perasaannya tak karuwan dengan masih memikirkan mengenai kemungkinan
tema pembicaraan ke enam orang temannya diatas sana disertai tawa
keras. Dini masih merasa bahwa teman-temannya akan membicarakan
dirinya, bahwa ia adalah orang yang penyendiri, tidak menyenangkan,
membosankan, dan lain sebagainya.”
Rasa cemas adalah perasaan yang wajar dimiliki oleh siapapun ketika menghadapi situasi yang kurang mengenakkan apalagi mengancam. Rasa cemas secara alamiah dimiliki manusia bahkan hewan untuk mempertahankan keberadaannya di dunia yang kadang tak ramah. Otak manusia dirancang untuk memberikan sinyal bahaya ketika ada stimulus yang terdeteksi sebagai bahaya, sehingga selanjutnya akan dibuat suatu keputusan tindakan apa yang harus diambil. Namun demikian biasanya tindakan ini bersifat reflek dan dalam bentuk pertahanan diri, yaitu dengan cara melawan atau melarikan diri. Sistem pertahanan yang dinamakan “fight” or “flight” (bertarung atau lari) ini memungkinkan manusia bertahan hidup dalam situasi-situasi yang penuh dengan ancaman dan bahaya yang tidak terduga.
Menjadi masalah ketika system yang dikendalikan oleh amigdala ini tidak mampu membedakan stimulus yang benar-benar mengancam atau yang tidak. Pada orang-orang yang mengalami disfungsi respon emosi, amigdala tetap merespon stimulus yang harusnya bersifat netral dengan alarm bahaya yang sama dengan stimulus yang mengancam. Akibatnya perilaku yang ia munculkan tidak adaptif bahkan mengganggu kehidupannya dan kehidupan orang lain.
Seperti pada contoh kasus diatas, bahwa dini merespon sikap salah seorang temannya sebagai suatu penolakan yang mengancam harga dirinya. Ia melanjutkan pemikirannya tersebut dengan reaksi masuk kedalam kamar, membanting pintunya dengan keras, lalu hanya berbaring seharian di kamarnya. Respon yang tidak sesuai seperti inilah yang menjadi penyebab sebagian besar gangguan jiwa.
Pengalaman masa kecil yang penuh derita, pengalaman traumatis, budaya dan pola asuh keluarga dengan kebiasaan pola piker tertentu merupakan factor-faktor yang mempengaruhi pembentukan pola sikap dan pikir seperti ini.
APA YANG TERJADI?
Meskipun pola respon ini dikendalikan secara otomatis oleh amigdala, akan tetapi sebenarnya sangat mungkin untuk diperbaiki menjadi lebih baik. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa dengan pembelajaran ulang respon emosi, amigdala mampu diperbaiki dalam merespon stimulus netral yang tadinya salah diintepretasikan sebagai stimulus yang mengancam. Cara yang dilakukan adalah dengan menghadapi stimulus dengan cara menenangkan diri dan mengkoreksi secara sadar mengenai apa yang dianggap suatu bahaya tersebut.
Beberapa teknik yang dilakukan dalam praktik psikologi misalnya dengan menggunakan teknik flooding, disentisisasi, konseling behavioral dan kognitif, dll, menggunakan suatu pandangan bahwa ketakutan yang irasional dapat diredam dengan pembuktian secara sadar dan koreksi secara langsung oleh subjek yang menderita.
Intepretasi yang salah mengenai suatu kejadian biasanya akan di tekan kedalam alam bawah sadar, dapat berubah bentuk menjadi sikap diam saja, menyalahkan orang lain, berfantasi untuk memuaskan keinginan, ataupun agresi yang dilakukan kepada objek yang tidak relevan. Intepretasi yang salah ini akhirnya tidak dapat dikoreksi terlebih dahulu oleh lobus pre frontal , terjadi disosiasi sebelum akhirnya disimpan dalam alam bawah sadar.
Sehingga biasanya dalam proses psikoterapi dan konseling, psikoterapis mengajak klien untuk menceritakan kembali mengenai detil apa yang dirasakan, apa yang dipikirkan atau kejadian traumatis menyakitkan yang belum sempat dikoreksi secara tuntas oleh otak sadar. Melalui menceritakan mengenai detil cerita menyakitkan yang selama ini dipendam atau dikaburkan ini dengan didampingi orang yang dapat dipercaya (terapis), maka pengalaman yang selama ini ditekan tersebut sedikit demi sedikit dapat dikoreksi dengan keadaan yang lebih nyaman dan tenang. Biasanya dalam sesi awal klien dilatih menenangkan diri dengan teknik relaksasi.
Setelah pengalaman traumatis atau intepretasi yang salah tersebut dapat dikoreksi, maka sampailah pada penerimaan diri seutuhnya dan kemudian memperkuat aspek-aspek kehidupan.
TIPS MENGURANGI KECEMASAN DAN INTEPRETASI YANG SALAH
Rasa cemas adalah perasaan yang wajar dimiliki oleh siapapun ketika menghadapi situasi yang kurang mengenakkan apalagi mengancam. Rasa cemas secara alamiah dimiliki manusia bahkan hewan untuk mempertahankan keberadaannya di dunia yang kadang tak ramah. Otak manusia dirancang untuk memberikan sinyal bahaya ketika ada stimulus yang terdeteksi sebagai bahaya, sehingga selanjutnya akan dibuat suatu keputusan tindakan apa yang harus diambil. Namun demikian biasanya tindakan ini bersifat reflek dan dalam bentuk pertahanan diri, yaitu dengan cara melawan atau melarikan diri. Sistem pertahanan yang dinamakan “fight” or “flight” (bertarung atau lari) ini memungkinkan manusia bertahan hidup dalam situasi-situasi yang penuh dengan ancaman dan bahaya yang tidak terduga.
Menjadi masalah ketika system yang dikendalikan oleh amigdala ini tidak mampu membedakan stimulus yang benar-benar mengancam atau yang tidak. Pada orang-orang yang mengalami disfungsi respon emosi, amigdala tetap merespon stimulus yang harusnya bersifat netral dengan alarm bahaya yang sama dengan stimulus yang mengancam. Akibatnya perilaku yang ia munculkan tidak adaptif bahkan mengganggu kehidupannya dan kehidupan orang lain.
Seperti pada contoh kasus diatas, bahwa dini merespon sikap salah seorang temannya sebagai suatu penolakan yang mengancam harga dirinya. Ia melanjutkan pemikirannya tersebut dengan reaksi masuk kedalam kamar, membanting pintunya dengan keras, lalu hanya berbaring seharian di kamarnya. Respon yang tidak sesuai seperti inilah yang menjadi penyebab sebagian besar gangguan jiwa.
Pengalaman masa kecil yang penuh derita, pengalaman traumatis, budaya dan pola asuh keluarga dengan kebiasaan pola piker tertentu merupakan factor-faktor yang mempengaruhi pembentukan pola sikap dan pikir seperti ini.
APA YANG TERJADI?
Meskipun pola respon ini dikendalikan secara otomatis oleh amigdala, akan tetapi sebenarnya sangat mungkin untuk diperbaiki menjadi lebih baik. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa dengan pembelajaran ulang respon emosi, amigdala mampu diperbaiki dalam merespon stimulus netral yang tadinya salah diintepretasikan sebagai stimulus yang mengancam. Cara yang dilakukan adalah dengan menghadapi stimulus dengan cara menenangkan diri dan mengkoreksi secara sadar mengenai apa yang dianggap suatu bahaya tersebut.
Beberapa teknik yang dilakukan dalam praktik psikologi misalnya dengan menggunakan teknik flooding, disentisisasi, konseling behavioral dan kognitif, dll, menggunakan suatu pandangan bahwa ketakutan yang irasional dapat diredam dengan pembuktian secara sadar dan koreksi secara langsung oleh subjek yang menderita.
Intepretasi yang salah mengenai suatu kejadian biasanya akan di tekan kedalam alam bawah sadar, dapat berubah bentuk menjadi sikap diam saja, menyalahkan orang lain, berfantasi untuk memuaskan keinginan, ataupun agresi yang dilakukan kepada objek yang tidak relevan. Intepretasi yang salah ini akhirnya tidak dapat dikoreksi terlebih dahulu oleh lobus pre frontal , terjadi disosiasi sebelum akhirnya disimpan dalam alam bawah sadar.
Sehingga biasanya dalam proses psikoterapi dan konseling, psikoterapis mengajak klien untuk menceritakan kembali mengenai detil apa yang dirasakan, apa yang dipikirkan atau kejadian traumatis menyakitkan yang belum sempat dikoreksi secara tuntas oleh otak sadar. Melalui menceritakan mengenai detil cerita menyakitkan yang selama ini dipendam atau dikaburkan ini dengan didampingi orang yang dapat dipercaya (terapis), maka pengalaman yang selama ini ditekan tersebut sedikit demi sedikit dapat dikoreksi dengan keadaan yang lebih nyaman dan tenang. Biasanya dalam sesi awal klien dilatih menenangkan diri dengan teknik relaksasi.
Setelah pengalaman traumatis atau intepretasi yang salah tersebut dapat dikoreksi, maka sampailah pada penerimaan diri seutuhnya dan kemudian memperkuat aspek-aspek kehidupan.
TIPS MENGURANGI KECEMASAN DAN INTEPRETASI YANG SALAH
1. Curhat
Ceritakan masalah yang anda alami kepada orang yang anda percaya, dan anda rasa dapat membuat anda nyaman.
2. Terima kenyataan
Jangan menyangkal mengenai kenyataan yang telah terjadi dimasa lalu dan saat ini, terima ikhlas.
3. Tunda berburuk sangka
Biasakan untuk menunda pemikiran negative
ketika anda merasa marah, sedih, kecewa ataupun perasaan negative
lainnya. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri, selalu berpikirlah
bahwa semua dapat diperbaiki, dan sebisa mungkin cari sela untuk
menguatkan perasaan anda dengan pemikiran logis.
4. Hadapi stimulus yang menakutkan
Hadapilah apa yang anda takuti selama
ini. Bukannya untuk hebat-hebatan atau sok keren, akan tetapi dengan
menghadapi apa yang selama ini anda takutkan akan memberik kesempatan
ulang bagi otak anda untuk mengkoreksi kesalahan intepretasi yang
mungkina dilakukan selama ini.
Danang Setyo Budi Baskoro
Danang Setyo Budi Baskoro
Label:Tips Psikologi | 0
komentar
Langganan:
Postingan
(Atom)
Text Widget
You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "
Categories
- Tips Psikologi (6)
Sample Text
Labels
Labels
Unordered List
Diberdayakan oleh Blogger.
Translate
Popular Posts
-
Pernahkah anda merasa saat hendak melakukan sesuatu dan semuanya sudah siap untuk dilaksanakan, tiba-tiba terbersit pemikiran “ah..mana bis...
-
Alangkah indahnya jika kita bisa memaafkan semudah kita mengatakan kata “saya maafkan Anda”. Kata maaf mungkin dapat kita ucapkan deng...
-
Anda suka merokok? Apakah merokok itu kebutuhan? Apakah rokok itu nikmat rasanya? Apakah menghentikan kebiasaan merokok itu susah bagi An...
-
“ Dini (23) menutup pintu kamarnya dengan keras, lalu menguncinya dari dalam. Wajahnya musam, matanya memerah dan lalu berbaring dika...
-
Sering kita mendengar istilah latin yang cukup terkenal “mens sana in corporisano”, yang artinya "healthy mind in health...
-
Bagaimana agar kita selalu positif thinking? apakah kita harus selalu memantau pikiran kita seharian? apakah tidak capek? oh, iya..me...